Naonmaksudna " HEURIN KU TANGTUNG " dina rumpaka kawih di luhur?A. bandung pinuh ku runtah B. bandung loba toko jeung supermarket C. bandung pinuh ku gedong-gedong jarangkung D. bandung kacida ramĂŞna lantaran gegek pendudukna. . Question from @Gracemeilany8 - Sekolah Menengah Pertama - B. daerah.
Daya dukung lingkungan di Cekungan Bandung semakin tidak ideal. Hutan tersisa hanya ada di Tahura Djuanda yang dibangun Belanda 107 tahun silam Bencana hidrometeorologi, terutama banjir mengepung wilayah sekitar Cekungan Bandung. Limpas air hujan yang tak tertampung di Dusun Pasir Jati, Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Minggu [10/2/2019], menyebabkan tiga warga meninggal dunia Bandung sedang mengalami ketimpangan perencanaan kota. Selain pembangunan tak terkendali di kawasan Bandung utara, kini pembangunan merangsek ke wilayah timur yang menjadi titik terendah di Cekungan Bandung Kota Bandung yang semula didesain oleh Thomas Karsten untuk sekitar penduduk, kini harus menampung warga sebanyak 2,4 juta jiwa. Kepadatan rata-rata, 150 jiwa per hektar Daya dukung lingkungan di Cekungan Bandung memburuk. Kawasan konservasi di Kawasan Bandung Utara [KBU] seluas hektar ini mengalami degradasi hebat akibat alih fungsi dan tata guna lahan tak beraturan. Tata wilayah KBU yang awalnya didesain untuk permukiman tumbuh tak terkendali, disesaki pembangunan properti dan pertumbuhan kota yang menyebabkan daerah resapan air berkurang. Mengutip Harianto Kunto dalam buku Wajah Bandung Tempo Doeloe, dituliskan bila Bandung yang dikelilingi gunung suatu saat bakal heurin ku tangtung. Bandung akan sulit berdiri karena kepadatan penduduknya. Ramalan itu sedang terjadi. Hutan tersisa di Cekungan Bandung hanya ada di Tahura Djuanda yang dibangun Belanda 107 tahun silam. Tahura seluas 500 hektar ini menjadi satu-satunya paru-paru kota saat ini. Baca Pembangunan Kota yang Tak Selalu Indah di Mata Kondisi permukiman yang tidak tertata tampak jelas di wilayah Bandung menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Foto Donny Iqbal/Mongabay Indonesia Sebagaimana diberitakan Mongabay sebelumnya, Dosen Sekolah Arsitektur dan Perencanaan Kota Institut Teknologi Bandung [ITB], Denny Zulkaidi, berpendapat, lambatnya penguasa kota merespon pertumbuhan kota, kian menegaskan ketidakseriusan dalam mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] sebagai acuan pembangunan. Dia mencontohkan, Kota Bandung yang semula didesain oleh Thomas Karsten untuk sekitar penduduk, kini harus menampung warga sebanyak 2,4 juta jiwa. Kepadatan rata-rata, 150 jiwa per hektar. Pada zaman penjajahan, Bandung memang secara resmi didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dibawah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1810. Daendels semasa menjabat, memerintahkan perencanaan Kota Bandung mengikuti pola kota-kota Eropa. Diawali pemindahan Bandung ke utara sejauh 11 kilometer, diapit Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung. Baca Kawasan Cekungan Bandung Makin Sering Banjir. Ada Apa? Banjir di Dusun Pasir Jati, Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Minggu [10/2/2019], menyebabkan tiga warga meninggal dunia. Foto Donny Iqbal/Mongabay Indonesia Terkait permukiman, Daendels membagi dua wilayah. Kawasan utara untuk permukiman bangsawan dan selatan bagi pribumi dengan titik tengah pendopo dan alun-alun. Demi mendukung iklim Bandung yang sejuk kala itu, Pemerintah Kolonial turut merancang juga taman. Mengutip tulisan pegiat literatur Zaky Yamani, sejak zaman kolonial, pembagian utara-selatan Bandung, bukan semata orang Eropa dan pribumi. Tapi juga bentuk pembagian kelas sosial dan citra. Melompat ke era kemerdekaan sampai hari ini, pembagian utara-selatan masih terjadi dan dipertahankan. Kawasan utara masih identik permukiman elite, pembangunan dan tata kotanya mengikuti pola kolonial. Terus dipercantik dengan beragam fasilitas. Sementara kawasan selatan semakin sumpek karena jadi wilayah industri dan belakangan sebagai permukiman untuk warga kelas menengah. Baca Perlahan, Air Bersih Menjauhi Masyarakat Bandung Alih fungsi lahan dan tata guna lahan tak beraturan merupakan aktivitas yang mengundang datangnya bencana banjir dan tanah longsor. Foto Donny Iqbal/Mongabay Indonesia Melupakan sejarah Anggota kelompok riset Cekungan Bandung, T Bachtiar mengatakan, Bandung sedang mengalami ketimpangan perencanaan kota. Menurutnya, kecenderungan tata kota ini kian tidak jelas arah karena lemahnya perencanaan. Selain pembangunan tak terkendali di kawasan utara, kini pembangunan kota terus merangsek ke wilayah timur yang menjadi titik terendah di Cekungan Bandung. Masalahnya, minimnya perencanana berimbas pada alih fungsi lahan di kawasan penangkap air. Padahal, kata dia, berdasarkan toponomi di Cekungan Bandung berkaitan dengan kearifan lokal yang merujuk pada topografi atau geomorfologi. Semisal, nama yang diawali kata ”ranca” menjadi penanda bahwa dulunya daerah yang dimaksud merupakan tanah basah atau rawa. “Sebetulnya, Belanda sudah memetakan tata ruang Bandung berdasarkan kajian geologinya. Termasuk menentukan wilayah-wilayah yang tidak dibangun seperti resapan air. Tetapi tampaknya itu sudah dilabrak,” tuturnya. Kota Bandung yang semula didesain oleh Thomas Karsten untuk sekitar penduduk, kini harus menampung warga sebanyak 2,4 juta jiwa. Foto Donny Iqbal/Mongabay Indonesia Persoalan Bencana hidrometeorologi, utamanya banjir mengepung wilayah sekitar Cekungan Bandung. Air hujan yang tak tertampung di Dusun Pasir Jati, Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Minggu [10/2/2019], menyebabkan tiga warga meninggal dunia. “Selama tujuh tahun tinggal di sini, banjir disertai lumpur baru pertama kali terjadi. Air limpasan begitu deras hingga menjebol tanggul sungai yang sempit. Saya rasa salah satu penyebabnya adalah banyaknya perumahan baru yang dibangun,” ujar Eva Ningsih [44] yang sebagian rumahnya hancur diterjang banjir bandang. Perumahan tersebut berjarak sekitar satu kilometer dari KBU. Sekitar 10 kilometer dari Kecamatan Cilengkrang, kejadian serupa pernah terjadi di Cicaheum awal 2018. Puluhan rumah terendam banjir dan lumpur. Banyak masyarakat ingin pindah. Penyebabnya, diduga sama. Kawasan resapan dan ruang terbuka hijau di Bandung utara berkurang. Tanggul sungai jebol karena tak mampu menahan debit air yang besar serta tingginya erosi dan sedimentasi. Di hubungi terpisah, Kepala Balai Pengelola Tahura Djuanda Lianda Lubis menuturkan, ada rencana perluasan tahura. Sesungguhnya, wacana itu pernah digulirkan sejak 2008, akan tetapi hingga saat ini belum terealisasi. “Hutan tersisa di KBU hanya di tahura, sangat kecil. Diusulkan penambahan hektar. Jika berhasil, langkah selanjutnya reboisasi. Tetapi perlu 10 – 15 tahun untuk menghutankan kembali kawasan yang sudah kritis,” paparnya. Keberadaan tahura yang bisa mencegah erosi dan banjir, sebagai daerah resapan air dan sumber hayati, bukan tanpa gangguan. Kawasan perbukitan di sekitar wilayah tersebut telah ada setumpuk izin pembangunan perumahan, hotel, restoran, dan lain-lain. Catatan Walhi Jabar memperkirakan 70 persen kawasan Bandung utara sudah berubah menjadi hutan beton. Foto Donny Iqbal/Mongabay Indonesia Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Jabar, kawasan 750 meter di atas permukaan laut itu dikuasai 350 izin pembangunan properti dan areal komersil yang dikeluarkan pemerintah kota/kabupaten. Ada yang sudah dibangun, tetapi izin belum ada. Dilihat dari sisi peraturan tertulis, KBU sudah ditetapkan sebagai lahan konservasi melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 1998, dan Surat Keputusan Gubernur Jabar Nomor Masih ada lagi, Peraturan Daerah Provinsi Jabar Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Kewenangan pengawasan KBU ada di Pemprov Jabar. Proses rekomendasi KBU merupakan prasyarat mendapatkan IMB dari kabupaten/kota Syarat utama adalah koefisien dasar bangunan 20-80, yaitu 20 persen untuk bangunan dan 80 persen untuk penghijauan. Bangunan itu termasuk gedung dan jalan. Makin ke wilayah atas KBU, porsi bangunan makin kecil. Walaupun sederet peraturan untuk melindungi kawasan konservasi itu sudah dibuat, catatan Walhi Jabar memperkirakan 70 persen kawasan Bandung utara sudah berubah menjadi hutan beton. Data Dinas Lingkungan Hidup Jabar mencatat, ada 42 objek bangunan tak berizin berdiri di atas tanah negara dan 32 objek bangunan lain di lahan pribadi. Hutan tersisa di Kawasan Bandung Utara hanya di Tahura Djuanda. Secara luasan sangat kecil, maka diusulkan penambahan hektar. Foto Donny Iqbal/Mongabay Indonesia Berdasarkan Sistem Informasi Pemanfaatan Tata Ruang [Sifataru], Cekungan Bandung merupakan wilayah topografi berbentuk cekungan dengan luas kurang lebih hektar. Bagian terendahnya merupakan dataran seluas hektar dengan ketinggian 650 m hingga 700 m di atas muka laut. Cekungan Bandung dikelilingi banyak gunung dengan yang tingginya mencapai m di atas muka laut. Wilayah perencanaan Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung secara administratif meliputi 5 [lima] wilayah administrasi, yaitu Kabupaten Bandung [ ha], Kabupaten Bandung Barat [ ha], sebagian Kabupaten Sumedang [Kecamatan Cimanggung, Tanjungsari, Sukasari, Jatinangor, Rancakalong, dan Pamulihan] seluas ha, Kota Cimahi [ ha], dan Kota Bandung [ ha] sebagai kota inti. Artikel yang diterbitkan oleh
SejarahKota Bandung dari" Bergdessa"(Desa Udik) Menjadi Bandung" Heurin Ku Tangtung"(Metropolitan) Kearifan Lokal Masyarakat Jatigede Dalam Pengobatan Tradisional: Pandangan Orientalis terhadap Identitas dan Isu Politik Tokoh Perempuan dalam Putri Cina: Perkembangan Zine di Bandung: Media Informasi Komunitas Musik Bawahtanah (1995-2012)
Guru bahasa Sunda di SMP dulu yang mengajarkan pada saya tentang istilah Bandung heurin ku tangtung, sebuah pandangan jauh ke masa depan dari PH Mustopha seorang pemuka agama di Bandung pada abad 19. Terjemahan langsungnya adalah Bandung sesak oleh manusia, tapi maksudnya Bandung akan padat penduduk. Tatar Bandung menurut sejarahwan alm Haryoto Kunto dibuka di tengah belantara tatar Pasundan oleh tentara Belanda atau Inggris lupa, untuk lengkapnya silahkan baca Bandoeng Tempo Dulu karya Haryoto Kunto yang sedsng dihukum, kurun waktu sekitar tahun 1700-an. Aslinya wilayah Bandung adalah desa-desa terpencil yang berada diantara wilayah kerajaan Galuh sekarang menjadi wilayah kabupaten Garut, Sumedang dll dan Padjadjaran yang berpusat di wilayah Bogor sekarang. Karena itu ga heran kalau tahun 1800-an Bandung dikuasai oleh orang-orang keturunan Eropa dan masih merupakan kota yang sepi. Tapi PH Mustopha meramalkan bahwa Bandung masa depan akan menjadi daerah berkembang dan padat penduduk, sementara Sumedang yang saat itu masih menjadi daerah terkemuka perlahan-lahan akan tergeser kemajuannya oleh Bandung, sedangkan wilayah Tasikmalaya akan menjadi daerah yang makmur dibanding Sumedang. Prediksi itu benar-benar nyata sekarang. Penduduk Bandung menjadi sangat padat sekali. Kemacetan lalu lintas terjadi dimana saja. Hampir tidak mungkin memacu kendaraan dengan kecepatan diatas 60 km/jam. Mungkin kecepatan rata-rata kendaraan di Bandung hanya 40 km/jam. Super lelet, untungnya jarak dari satu tempat ke tempat lain tidak jauh. Berbeda dengan Jakarta yang di hari libur menjadi lengang, long weekend untuk penduduk Bandung berarti membuang waktu dijalan yang lebih lama karena invasi kendaraan turis lokal yang membuat jalan semakin macet. Buat saya kalau sedang pulang ke Bandung berarti lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Malahan jadi sering tidak update dengan tempat-tempat jajan enak yang menjadi sasaran turis lokal, katro deh. Menguasai jalur angkot di Bandung adalah salah satu taktik mencapai suatu tempat dengan mudah, murah dan cepat. Trik-nya adalah berpindah-pindah angkot di jalur-jalur macet. Kelemahannya memang bikin capek, turun naik angkot dan lebih relatif lebih mahal tetep aja lebih murah dibanding naik taksi Bandung yang tidak ber-argo. Tapi tetap ada resiko juga untuk terjebak kemacetan hari libur. Dan kesialan itu saya alami hari minggu yang lalu. Terjebak macet di Gasibu!! Lapangan depan gedung sate yg jadi pasar kaget setiap hari minggu rupanya mengadakan acara tertentu. Panitia sama sekali tidak memikirkan jalan alternatif untuk kendaraan umum. Semua jalan tikus terblok habis oleh pedagang2 kagetan, parkir motor dan orang yang berjalan kaki. Walaupun angkot yang saya naiki sudah mengantisipasi sebuah jalan alternatif tapi tetap terjebak dengan lautan manusia dan parkir motor sembarangan di area perimeter yang cukup jauh dari Gasibu. Stucked, ga bisa maju atau mundur, interlocking sampai ga bisa digambarkan lagi dengan narasi. Estimasi saya keruwetan ini akan mencair cukup lama, daripada bego saya turun dan bermaksud jalan sedikit sampai keluar wilayah itu. Gilanya, untuk berjalanpun ternyata merupakan perjuangan lain, berdesak-desakan & beringsut-ingsut seperti orang mau masuk stadion bola saja. Sambil jalan di otak saya bergema Bandung heurin ku tangtung sudah menjadi kenyataan
Bandungheurin ku tangtung Nyeri hate ningali nepi ka pundung Bandung heurin ku tangtung Kamana citra Bandung nu agung? Bandung heurin ku tangtung Kumaha meh teu leuwih buntung?-sabada maos Bandung janten kota terkotor Foto : PR. Diserat ku Wanita Sunda Antar Benua @ 3:18 AM |
Bandung - "Hanya ke Bandung lah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya." Kalimat ini merupakan sebuah penggalan surat cinta syahdu nan romantis yang dipersembahkan oleh Bung Karno kepada Inggit Garnasih, sang istri yang selalu setia mendampingi Bung Karno muda saat melewati masa-masa perjuangan memerdekakan Indonesia di Kota sebagian orang, Bandung tentunya telah meninggalkan kesan tersendiri untuk para pelancong maupun warga yang sudah menetap sejak lama. Tak ayal, julukan-julukan yang disematkan untuk Bandung sebagai Kota Kembang, ataupun dengan nama Paris van Java-nya, menjadi sebutan yang ideal untuk menggambarkan bagaimana kondisi di Kota dari sekian banyak julukan yang disematkan untuk Kota Bandung, istilah Paris van Java tentu begitu familiar di telinga masyarakat. Konon, julukan ini sudah disematkan sejak Belanda menguasai Indonesia pada abad ke-19. Namun, belum banyak yang tahu bagaimana sejarah hingga julukan ini bisa disematkan untuk Bandung pada saat itu. Dikutip detikJabar dari jurnal Nandang Rusnandar berjudul Sejarah Kota Bandung Dari "Bergdessa" Desa Udik Menjadi Bandung "Heurin Ku Tangtung" Metropolitan yang dipublikasikan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Senin 22/8/2022, julukan Paris van Java disebut muncul ketika diselenggarakannya Congres Internationaux d`architecture Modern CIAM atau Kongres Internasional Arsitektur Modern yang digelar di Kota Chateau de la Sarraz, Swiss pada Juni itu, Nandang menulis Bandung mulai gencar membangun bangunan yang indah, tata kota dan pola pemukiman yang serasi sehingga kelestarian alam dapat sedemikian rupa terjaga. Hal itu sejalan setelah Bandung selain menjadi Ibu Kota Kabupaten Bandung, juga memiliki fungsi baru sebagai Ibu Kota Karesidenan hanya memikirkan bangunan dan tata kota semata, taman-taman kota juga mulai dibuat di seantero Kota Bandung. Nandang mencatat, pada akhir abad ke-19, usaha penghijauan telah dimulai agar kawasan ini menjadi pun dilakukan oleh perkumpulan Bandoeng Vooruit, meliputi daerah DAS Cikapundung dari Lembang hingga Lembah Tamansari, Lereng Bukit Palasari, Jayagiri, Ciumbuleuit, Gunung Manglayang dan Arcamanik. Penghijauan juga dilakukan dengan melestarikan beberapa air terjun dan danau-danau situ di seputar daerah Bandung, seperti Situ Patengang, Situ Cileunca, Situ Aksan yang disebut natuur-monument atau monumen lalu menulis, dalam cara membangun bangunan-bangunan di Kota Bandung, para arsitek Belanda kurang memperhatikan sifat- sifat Hindische atau kedaerahan. Sehingga, Hendrik Petrus Berlage, yang merupakan bapak arsitektur modern di Belanda kala itu memberikan julukan kepada Bandung dengan sebutan Bandoeng Parijs van ini pun mencuat ketika Congres Internationaux d'architecture moderne CIAM dihelat di kota Chateau de la Sarraz, Swiss, Juni 1928. Nandang mengisahkan jika Hendrik Petrus Berlage menyindir bahwa Kota Bandung dalam pembangunannya berkiblat kebarat-baratan dan lebih terpaut ke Kota Paris. Sementara, para arsitek yang menggagas tata letak Kota Bandung dianggap tidak menonjolkan ciri khas tropis dan tidak mencerminkan kepribadian yang Paris van Java kala itu merupakan julukan yang bernada sindiran, namun pada akhirnya Nandang mengisahkan julukan itu malah menjadi masyhur ke seluruh dunia. Penyebabnya karena Bandung saat itu menjadi prototipe dari Kolonialle Stad atau kota itu, julukan Kota Bandung sebagai Paris van Java kata juga sejalan dengan maraknya aktivitas perkebunan di sekitar Kota Bandung pada awal abad 20. Kemudian, turut berdiri juga bangunan-bangunan untuk kepentingan orang perkebunan seperti hotel, kantor, pertokoan dan tempat hiburan, termasuk sekolah. Di antara semua itu, yang paling tersohor adalah tempat perbelanjaan khusus orang kulit putih yang dibangun di sepanjang Jalan Braga yang semula hanya berupa jalan faktor itu pula, Braga berkembang menjadi daerah yang pesat. Pada masa keemasannya, Braga turut mempengaruhi perkembangan wilayah sekitarnya, seperti aktivitas perdagangan, jasa, hiburan, hingga perkantoran yang berada pada kawasan fisik kawasan Jalan Braga lalu dikembangkan dengan suasana mendekati tempat-tempat di Eropa kala itu. Kondisi itu pun sekarang masih bisa ditemukan dari beberapa fisik bangunan gedung yang cenderung tampil dengan gaya Eropa. Mulai dari gedung Javasche Bank sekarang Bank Indonesia, gedung Van Dolph sekarang Landmark, gedung Gas Negara serta gedung-gedung lainnya yang berada di sekitar Braga. Hingga akhirnya, gaya arsitektur yang khas ini pun menjadikan kawasan Braga semakin berkembang sebagai kawasan perdagangan yang banyak diminati masyarakat saat itu. Simak Video "Momen 5 Bang Jago Keroyok Polisi Berujung Berompi Oranye" [GambasVideo 20detik] ral/tey
Hartina Bandung Heurin Ku Tangtung " Arti dalam bahasa indonesia : *Hartina = Artinya *Bandung = Bandung *Heurin = Sempit *Ku = dengan/Oleh *Tangtung = Berdiri / sebuah tempat tinggi Jadi bisa disimpulkan artnya dalam bahasa indonesia adalah "Artinya bandung penduh dengan yang berdiri/gedung".
LENGKONG, heurin ku tangtung.” Begitu pepatah leluhur orang Sunda menyatakan uga atau ramalan tentang Kota Bandung. Ungkapan tersebut menggambarkan kondisi Kota Bandung yang sesak akan “kehidupan”. Tahun 2011, Pakar Budaya Sunda, Nandang Rusnandar mengatakan, kata “tangtung” bukan hanya berarti manusia yang sedang berdiri, tetapi juga dimaknai dengan bangunan fisik seperti gedung dan bangunan serta hal-hal abstrak, seperti ideologi, kehendak, dan budaya. Ramalan itu nampaknya memang sedang terjadi di Kota Bandung saat ini. Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna mengatakan, rancangan pembangunan Bandung pada masa Hindia Belanda hanya mampu mengakomodasi penduduk. Namun kini, jumlah penduduk yang tercatat oleh Pemerintah Kota Bandung telah mencapai 2,4 juta orang. “Itu data yang tercatat, kita biasa sebut dengan data penduduk di malam hari. Sedangkan siang hari bisa mencapai 3,4 juta jiwa karena orang dari luar daerah banyak bekerja di Kota Bandung, itu juga belum termasuk wisatawan,” tutur Ema saat membuka Grand Design Pembangunan Kependudukan Kota Bandung di Grand Tjokro Hotel Bandung, Senin 25/11/2019. AYO BACA 12 Sekolah Jadi Pilot Project Program Pemeliharaan Ayam Bahkan, lanjut Ema, 2,4 juta penduduk di malam hari pun belum sepenuhnya terakomodasi di administrasi kependudukan. Pasalnya, banyak warga non penduduk yang juga tinggal dan menetap di Kota Bandung, misalnya mahasiswa. “Di kita itu banyak mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi, mulai dari UPI sampai UIN di Cibiru. Belum kampus swasta, pegawai BUMN, polisi, dan TNI yang juga bertugas di Kota Bandung. Mereka juga adalah penduduk yang harus kita fasilitasi kebutuhan hidupnya di kota ini. Karena bicara kependudukan tidak lagi bicara asal administratif,” beber Ema. Hal tersebut terjadi karena pesatnya pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung. Banyaknya perguruan tinggi menjadikan Bandung sebagai tujuan belajar mahasiswa se-Indonesia. Bandung juga telah menjadi destinasi wisata, dan “melting pot” yang menumbuhkan peradaban baru sehingga berduyun-duyun orang datang dan menetap di ibu kota Provinsi Jawa Barat ini. Oleh karena itu, Ema meminta Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana DPPKB Kota Bandung agar “grand desain” pengelolaan kepedudukan bukan lagi sekadar tentang pemerintah mengatur administrasi kelahiran dan kematian penduduk. Lebih jauh adalah agar Pemkot Bandung bisa mengendalikan pertumbuhan penduduk. Sehingga penduduk yang tinggal bisa mendapatkan kualitas hidup yang baik. AYO BACA Kasus Korupsi RTH Pemkot Bandung, KPK Tetapkan Satu TersangkaKualitas hidup itu berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar, seperti pangan, perumahan, kesehatan, hingga pendidikan. Jika pertumbuhan penduduk tak terkendali, maka persoalan domestik lainnya, seperti lingkungan, mobilitas, ekonomi, hingga penegakkan hukum akan menjadi masalah susulan yang tak terhindarkan. Tak sampai di situ, DPPKB juga harus bersinergi dengan instansi terkait untuk mengantisipasi lonjakan penduduk berkaitan dengan daya tampung kota. Dengan begitu, setiap rancangan pembangunan dapat saling melengkapi secara utuh. “DPPKB harus sering ngobrol dengan Bappelitbang, misalnya. Karena perencanaan kota ada di sana, kota ini mau di bawa ke mana Bappelitbang yang tahu,” ujar Ema. Sementara itu, Kepala DPPKB, Andri Darusman mengatakan, grand desain pembangunan kependudukan yang dirancang Kota Bandung juga mencakup rekayasa ruang dan sumber daya agar setiap penduduk tetap mendapatkan kebutuhan dasar kehidupannya.
Dilansirdari Ensiklopedia, naon maksudna heurin ku tangtung dina rumpaka kawih 'bandung Bandung kacida raména lantaran gegek pendudukna. Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. Bandung pinuh ku tangtung adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. [caption id="attachment_208771" align="aligncenter" width="529" caption="Bandung heurin ku imah Dok. HendiS"][/caption] Ramalan Sunda Kuno yang pernah dikawihkan dinyanyikan mungkin tahun 1950an - 1960an, saya masih ingat sebaris kawih dalam bahasa Sunda tersebut " Dilingkung gunung, heurin ku tangtung, puseur kota nu mulya Parahyangan. Bandung..Bandung... Sasakala Sangkuriang..". Kota Bandung yang dikelilingi gunung suatu saat diramal akan heurin ku tangtung atau padat penduduknya. Dalam bahasa Sunda heurin artinya sempit, berdesakan, sedangkan tangtung atau nangtung artinya berdiri, jadi heurin ku tangtung artinya orang berdiri berdesakan atau padat penduduk. Bandung sekarang berpenduduk 2,4 juta jiwa, padahal kota kembang yang dulu dijuluki Parijs van Java ini didesain hanya untuk sekitar 600 ribu penduduk saja. Dapat dibayangkan daya dukung lingkungan Kota Bandung sudah terengah-engah menyangga kelebihan 1,8 juta penduduknya yang hidup berdesakan. [caption id="attachment_208813" align="aligncenter" width="519" caption="Operasi yustisia tak mengatasi Bandung heurin ku tangtung Foto sebuah siaran berita TV"] 13460284061307928811 [/caption] Puseur kota nu mulya Parahyangan -Ibu Kota Parahiangan-, mau tak mau harus menerima takdir menjadi kota yang padat tetapi sangat disukai pendatang, baik untuk tinggal di Bandung mencari nafkah, mencari ilmu, maupun untuk berwisata dan berbelanja terutama setiap hari Sabtu dan Minggu atau pada hari-hari libur nasional. Kita tunggu orang-orang pandai di Kantor Gubernur Jawa Barat dan Kantor Walikota Bandung dibantu atau diarahkan pakar-pakar di ITB yang ahli tata kota, apa buah pikiran mereka untuk mengembalikan citra dan kenyataan bahwa Bandung suatu saat cocok lagi disebut Parijs van Java yang penuh bunga dan berhawa sejuk. Bandung heurin ku tangtung, heurin ku factory outlet, heurin ku motor, heurin ku imah, heurin ku gedong sigrong dan last but not least heurin ku mobil urang Jakarta tiap Sabtu - Minggu. Dari ITB ke Cihampelas makan waktu satu jam euleuh-eleuh ... Cihampelas dari pagi sampai malam padat merayap euy ! [caption id="attachment_208773" align="aligncenter" width="543" caption="Bandung heurin ku mobil, heurin ku motor Foto sebuah siaran berita TV"] 1345984690526704893 [/caption] Lihat Sosbud Selengkapnya
. 384 450 21 138 181 209 463 424
bandung heurin ku tangtung